Jadi Perokok (Pasif) itu Bukan Pilihan

Rokok apa yang paling enak?
Rokok ratu....
Lho, kok bisa? emang ada rokok ratu?
Ada, ratu..mbas......(alias tidak beli)
#Guyonan ini pertama kudapati dari salah satu kelompok pengamen jalanan saat dalam perjalanan mau ke Bandung, naik bus.  Such a memorable moment...

Arkarna bilang, "Life is free".  
Mosok?
Iyo.
Maksud e?
Bebas pas nemtok ake pilihan. 
O...nek ngunu yo setuju aku. Lha, nek wes milih..opo yo bebas sak karep e dhewe?
 (kira-kira gimana ya kelanjutan percakapan ini?)


#situasi 1
Tokoh kita kali ini hendak bepergian.
"Naik apa ya, enaknya?" batinnya sendiri.
"Ngebis atau nggandhol trek wae....," lanjutnya masih dalam batin.
Berhubung barusan kerokan karena masuk angin, beliau pun memilih untuk naik bis sajha. Kuatir nanti kalo nunut truk, masuk anginnya mbalik lagi. Maka, beliau pun bersiap-siap hendak ke terminal.
"Ke terminal naik apa, ya? Jalan atau naik becak? Kalo jalan ya lumayan...5 kilo jhe...."
Maka, beliau pun memilih naik becak.
"Becak yang model gimana, ya? Yang roda 3 atau roda 4?"
(Tau becak roda 4, kan? Itu, yang sekarang lagi musim...becak yang bisa dinaiki sampai 6 orang sekaligus. Kira-kira, seukuran sedan. Pedhalnya pun gak cuman satu.)
Berhubung beliau buru-buru, maka dipilihlah becak yang rodanya 3. Gak perlu ngolahi sendiri. Tapi ya harus ngopahi tukang becak. Wajhib, jhe....


#situasi 2
Sampailah tokoh kita ini di terminal.
"Naik bis biasa ato yg ada AC-nya, ya?" timangnya lagi. Lagi-lagi, karena kuwatir gosokan bekas kerokan tadi luntur, maka beliau pun memilih naik bis reguler, alias yang tanpa AC.
Naiklah beliau ke bis. Nampaknya masih sepi. Bangku-bangku banyak yang kosong.
"Kursi depan to belakang? Kiri ato kanan?" timbangnya lagi.
Singkat kata, beliau memilih untuk duduk di salah satu kursi. Selang beberapa lama kemudian, bus berangkat sesuai jadwal. Namanya juga bis reguler. Bayar atas. Maka, tibalah giliran kondektur menagih ongkos ke para penumpang. Termasuk ke tokoh kita ini.

#situasi 3
Setelah bayar ongkos bis, tokoh kita merogoh saku celananya (lagi). Kali ini untuk mengambil pak  rokok yang dibawanya sejak tadi dari rumah. Rokok siap. Apa ya yang kurang? O, ya. Korek. Maka, dirogohlah satu yang sakunya lagi. Rokok siap, korek siap. Dengan gaya ala koboi, diaturlah posisi rokok dengan memperhitungkan laju kendaraan dan arah serta kecepatan angin yang mbrobos dari jendela bis.
"Seger....." gumam beliau sambil menghembuskan asap hasil sedotan pertamanya.
"Uhukk...uhukk.....uhukkk....." terdengar suara dari belakang kursi beliau.
"Uhuk...uhukk..uuuhuuuuuk....uuuhuuuuuuukkkkk....."makin keras dan naik temponya. Usut punya usut, si empunya "uhuk" ternyata merasakan sensasi gatal luar biasa berlipat ganda begitu asap hembusan pertama tadi beradiasi dan kemudian masuk zona pernafasannya.Makin lama, makin ngiklik. Makin njegil. Menerima imbas dari tokoh kita yang, dengan cuek al santai no, makin dalam menghisap asap tembakaunya. 

Merokok itu pilihan.
Ya, buat yang ngrokok.
Maksudnya?
Yang gak ngrokok kan mau gak mau jadi kena asapnya juga.
Dia merokok dalam keadaan sadar, tanpa terpaksa. Dia tahu akibat merokok dan siap buat menghadapi/ menerimanya.
Trus, yang "uhuk-uhuk" tadi?
Lha, itu namanya perokok pasif. Nggak ngerokok, tapi kena akibatnya. Istilah 'sono'nya, second hand smoker......

#situasi 4.
Maka, sejak kejadian itu tokoh kita pun memutuskan: setiap keluar rumah atau bepergian dia bawa masker sebanyak mungkin.
Baik hati banget. Mau dipinjam-pinjamkan, ya?
Enak saja. Dijual dong. Terutama buat mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok....salah sendiri, pake sok keganggu sama asap rokok saiya.....


Hidup industri rokok!!!
Dengkul mu.......


Komentar

Postingan populer dari blog ini